Si Mono & Si Bebh ( by Amat Faisyal Mustakim )

Diposting oleh Arndi 24 Desember 2010

Syuurr…

Aduh maaf Ayah, aku terlalu banyak siram pohon tomatnya, jadi roboh, nanti aku tanam ulang deh” rengekku. “Yah, Wita, ya sudah pelan-pelan saja tanamnya, memangnya kamu mikirin apa sih kok bisa sampe melamun begitu?” tanya ayah. “Ah, tidak yah, Cuma kesalahan teknis kok, hehehe” jawabku nyengir. Ayah tak tahu betapa aku memikirkan si mono, aku sangat menyayangi si mono, aku sangat berharap ia dapat kembali ke padaku, karena ia milikku. Sampai saat membantu ayah untuk menanam tomat di belakang rumah seperti ini pun aku masih memikirkannya.
###
Kring…Kring…
Aku tersentak kaget mendengar dering si mono yang membuyarkan lamunanku. Ku lirik jam diding kamarku, tepat pukul 5.  Ku pandangi langit, tampaknya mendung enggan mengakhiri gerimis sore ini. Aku bergegas menggapai si mono dari meja belajarku. Ya, si mono berwarna hitam yang kusam dan telah beberapa kali di perbaiki adalah handphone pemberian ayahku ketika ulang tahunku yang ke 17. Sedikit terbesit kekecewaan karena harus memiliki handphone model lama yang harganya tidak seberapa. Berbeda jauh dengan handphone yang aku idamkan selama ini, dengan kamera, layar yang lebar, layanan internet, dan fitur lainnya. Tapi aku mencoba untuk menghilangkan rasa gengsi itu. Toh, tak ada yang akan mengejekku. Namun jika tarnyata ada, aku takkan peduli. Ku lihat ada satu pesan yang diterima dan tertulis:
Wit, besok da acara “temu peserta olimpiade” d’aula skolah jam 9pg, jgn ampe telat y…
Si mono butut tiba-tiba mati, untung saja aku sempat membaca isi pesan tersebut. Pesan itu datang dari sahabat karibku, Citra, yang terpilih sebagai wakil sekolah dalam bidang Kimia. Yang mengatakan bahwa akan diadakannya pertemuan peserta olimpide di sekolahku. Besok adalah hari minggu. Hari di mana siswa lain dapat bersantai ria, akan tetapi tidak denganku. Aku harus mengisi hari Mingguku dengan belajar ekstra. Guru Fisika di sekolahku memilihku untuk mewakili sekolah dalam olimpiade antar sekolah seprovinsi. Karena diriku memang cukup di perhitungkan di sekolahku, hal ini karena aku sering mendapatkan nilai baik sebagai hasil dari belajar kerasku yang teratur.
Ayahku hanyalah seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Jadi, mustahil bagiku untuk merenggek meminta dibelikan handphone yang mahal. Oleh karena itu, kesempatan mengikuti Olimpiade antar sekolah tingkat Kabupaten ini tak akan aku lewatkan. Aku akan berusaha untuk menjadi sang juara.
Pagi-pagi benar kulihat Doni telah menghampiriku dengan sepeda motornya. Aku berpamitan pada orang tuaku dan bergegas ke sekolah bersama Citra.
Sorry Sist, gue gak balas sms lu kemarin, soalnya hpku ngadat lagi nih” ujarku.
it’s OK, yang penting sms gue lo baca kan ???” tukasnya. “Wita,Wita, udah gue bilang, hp lu tu di museumkan aja” tambahnya. Akhirnya kami  tertawa-tawa di sepanjang perjalanan ke sekolah.
Di sekolah tampak beberapa siswa lain yang juga akan berkompetisi dalam Olimpiade. Ku hampiri mereka dan ku dengar tampaknya mereka sedang membicarakan tentang hp keluaran terbaru. Ugh, menyebalkan. Aku hanya terdiam dan menjadi pendengar setia dari celotehan mereka. Akhirnya kami memulai pertemuan pada pukul 11.
Usai pertemuan itu Citra mengajakku bergegas menuju warung bakso di depan sekolah.
wah, kayaknya gue ditraktir nih… hehehe” ledekku.
enak aja… tapi okelah, kali ini gue nraktir lo” jawabnya. “asyik, makan gratis deh…” celetukku.
Saat kami menunggu pesanan, aku keluarkan si mono dari tas gendongku. Aku coba nyalakan dan ternyata berhasil. “Cit,Citra, Citra Puspitasari, liat hp gue bisa nyala…!!!” seruku kegirangan. “Huss…!!! Iya, tapi gag usah pake teriak kali, ntar smua orang liat lagi. Udah gitu pake nyebut nama lengkap gue lagi” celoteh Citra sambil memasang wajah cemberutnya. “Hehe… Iya deh maap..” ujarku meringis.
Malam itu aku kembali memikirkan tentang si mono. “Mon, giman ya caranya ganti kamu jd baru” gumamku.
Tok..tok..
Kudengar pintu kamarku di ketuk. Ternyata ibu yang datang. “makan dulu Wit!” pintanya.
kapan olimpiade itu di leksanakan, Wit?” tanya ayah sembari memasukkan nasi kedalam mulutnya. “minggu depan, yah. Hadiah nya jutaan buat yang juara lo yah” tukasku. “kalau kamu menang, hadiahnya boleh kamu belikan apa saja yang kamu mau, Wit” tambah ibu. “yang bener, bu?” tanyaku meyakinkan. “iya, itu kan hasil jerih payahmu sendiri” jelas ayah.
Wahh, kalau aku menang, ini kesempatanku untuk mengganti si mono dengan yang baru. Bukan maksud hatiku untuk menyingkirkan si mono dari kehidupanku, tapi meskipun aku berusaha bangga dengan si mono yang telah menemaniku selama ini, tak bisa ku pungkiri bahwa ada perasaan kurang puas di dalam diriku jika belum memiliki handphone yang idamkan. Akhirnya aku tidur dengan perasaan yang berbunga-bunga dengan impian itu.
Saat yang di tentukan telah tiba, dan soal-soal yang di berikan pada olimpiade itu tak begitu sukar bagiku karena memang aku bersungguh-sungguh dalam berlatih untuk menghadapi hari ini di jauh-jauh hari. Hingga akhirnya detik-detik mendebarkan tiba, saat pengumuman pemenang di tempel di mading sekolah dua hari kemudian. Pagi itu aku berjalan di koridor sekolah dan mendapati mading sekolah yang di penuhi oleh siswa. Tiba-tiba Citra muncul dari balik kerumunan itu, “Wit, kita menang Wit!!” teriaknya kegirangan. “sumpeh lo?” tanyaku keheranan. “beneran, lo dapet juara satu di Fisika, gue dapet juara satu di Kimia!!!” jelasnya. Aku kurang yakin, kemudian “minggir-minggir!!” terobosku ke hadapan madding. Ternyata benar aku mendapatkannya. Aku bergegas kembali dan melompat-lompat kegirangan bersama Citra.
Terima kasih pak…” ucapku seraya menerima amplop berisi uang hadiah dari kompetisi itu. “mau lo pakek buat apa tu duit?” tanyaku pada Citra. “Hmm… gue mau kasih kejutan ortu gue, gue mau tabung buat kuliah gue, jadi saat akan masuk universitas gue punya uang ya buat beli sepatu kek paling nggak. kalo elo?” Jawabnya. Ternyata di balik sosok cewek semanja Citra ada pemikiran yang bijak dengan menyimpan uang untuk masa depannya. Kenapa tak terfikir olehku ya???. Tiba-tiba aku memandangi Citra, cewek sebayaku itu berfikir dewasa, cewek dengan rambut pendek yang di bounding itu adalah sahabatku yang berfikir lebih bijak ketimbang aku. Namun, entah setan mana yang merasuki alam fikiranku. Ah, tapikan Citra tuh manja, pasti gak akan bertahan lama. Dia juga udah punya handphone bagus.
Loh, ditanya kok malah bengong??” tanya Citra membuyarkan lamunanku. “eh. Iya.. kalo gue… ada deh, ntar lo temenin gue ke konter ya…?” jawabku seadanya.
ngapain? Lo mau beli hp?
Yo’i.
Pilih yang mana Wit? Yang ini aja, bagus n gak terlalu mahal” saran Citra. “Mbak, lihat yang ini..” pintaku pada penjaga toko handphone itu seraya menunjuk salah satu handphone di dalam etalase.
gila lo Wit..!! itu kan mahal banget!” omel Citra. “Ce’elah… ini kan hp kluaran terbaru. Lo takut hp lo kalah ye..?” celetukku. “sorry lah yaw, gak banget gue gitu” jawabnya sewot.
Akhirnya aku dan Citra pulang dengan berhasil menggondol. Eh, menggondol, emangnya kucing… membeli BB, alias handphone terbaru.
Di rumah aku terus memandangi BB baruku. Aku pencet satu per satu tombol yang jumlahnya jauh lebih banyak di banding si mono. Tak kusadari ayah dan ibu memandangku dari kejauhan dan tampaknya mereka hanya tersenyum dan geleng-geleng melihat tingkah anaknya yang udik. Si mono akhirnya aku letakkan ke dalam kotaknya dan ku simpan di atas lemari pakaianku. Kasihan juga rasanya melihat si mono harus terdiam di sana, tapi itu sudah jadi takdirnya pikirku.
Aku menenteng BB ke mana pun aku pergi. Kini aku bisa mendengarkan lagu-lagu kesukaan ku di mana pun, berfoto sesukaku, dan berchatting ria melalui layanan internetnya.
hati-hati Wit, banyak kasus negatif yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan internet!” jelas ayah memperingatkan. “Iya, yah” jawabku sambil asyik memainkan game on-line di BB-ku.
Malam itu aku asyik sendiri di kamarku memainkan jari-jariku di atas tombol kuerty BB baruku. Hingga akhirnya aku menemukan satu gambar animasi yang aku anggap lucu. Pada gambar itu tampak karakter Naruto yang berciuman dengan Sakura. Aku mengunduh dan menyimpannya ke dalam kumpulan fotoku. Malam  itu aku terlelap terlalu larut.
Kring…Kring…
Suara alarm yang sangat berisik membangunkanku. Aku merasa kurang puas karena tidurku yang larut. Akhirnya aku terlambat ke sekolah.
Di koridor sekolah ku lihat sepi, sudah masuk tampaknya. Aku berlari tergesa menuju ruang kelas ku yang berada di ujung. Di hadapan pintu kelas aku menghentikan langkahku dan mengatur nafasku yang tersengal. Semua mata dalam kelas itu tertuju padaku, aku heran mengapa ada beberapa guru yang mengajar sekaligus dalam kelas. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa hari itu adalah hari pemeriksaan Handphone, salah satu rangkaian razia terhadap penyalahgunaan teknologi yang di lakukan secara rutin dengan tidak menetapkan waktu tiap bulan agar tidak ada siswa yang mengetahuinya. Para guru menyita sementara semua Handphone siswa. Aku pun di minta menyerahkan handphoneku sebelum duduk ke bangku ku. Para guru pergi meninggalkan kelas dengan membawa semua Handphone siswa untuk di periksa di ruang kantor. Ruang kelas terdengar sangat riuh oleh celotehan siswa yang merasa menyimpan sesuatu di handphonenya. Aku sangat takut akan gambar yang ku unduh tadi malam. Tapi aku hanya terdiam dan saling lihat dengan Citra. “Lo gak simpen yang macem-macem kan Wit?” celetuknya. Aku tersentak dan hanya menggelang lemah. “ya udah, santai aja kali. Gak usah tegang gitu” tambahnya.
Wali kelas kembali dari kantor dengan membawa handphone yang bersih dari masalah tentunya. Satu per satu handphone dibagikan. Hingga handphone yang terakhir, ternyata benar bahwa BB-ku tak kembali.
Bagi siswa yang tidak menerima Handphone-nya, harap mengambilnya ke ruangan kepala sekolah!!
Kata-kata wali kelas itu bagaikan petir yang menggelegar dan menyambar kedua telingaku. Citra memandangiku, “ada apa di dalam hp lo Wit?” tanyanya. Aku hanya diam dan bergegas menuju ruangan kepal sekolah dengan beberapa siswa lain.
Gimana Wit?” tanya Citra setelah aku kembali. “Gak papa Cit, gue Cuma di ingetin untuk tidak menyimpan gambar tidak senonoh itu lagi” jawabku dengan senyum lega. “Jadi bener ada sesuatu di hp lo? Tapi kok gak papa, tadi gue liat si Doni en yang lainya pada stress karna di skors selama seminggu” tambahnya penasaran. “Oh, gue kan punya cara jitu. Gue bilang aja kalo gue gak tau soal gambar itu karena gue baru beli hp itu kemarin” celotehku. “Hmm… mang gambar apa sih?” tambahnya. “Cuma kartun doang…
Sepulang dari sekolah Citra mengajakku mengerjakan tugas kelompok matematika di rumahku. Saat mengerjakan ia sibuk menghitung dan bertanya, aku memencet BB-ku tiap beberapa detik karena ku lihat ada komentar-komentar yang lucu di facebook. Akhirnya aku sibuk dengan BB-ku dan Citra yang mengerjakan tugas kami dengan kesal tampaknya.
Hari demi hari yang kujalani bersama BB-ku sangat menyenangkan dan kunikmati. Tak kusadari bahwa aku lebih sering meluangkan waktu untuk BB-ku dari pada belajar.
Wit, kok bisa sih…?” tanya Citra keheranan. Aku mendapati beberapa nilai ulangan harianku dengan angka 4, dan nilai terbaikku dengan angka 7. Sungguh tak hanya aku dan Citra yang kaget, namun para guru dan siswa lain pun mulai menggunjing ketololanku. Guru Pembina memanggilku dan memberiku nasehat-nasehatnya. Aku tak memiliki keberanian untuk memberitahukan hal ini pada orang tua ku. Aku tak ingin melihat mereka kecewa atas sikapku yang menganggap enteng pola belajarku hingga menghasilkan hal buruk yang menjatuhakanku sendiri. Aku tak mau gagal dalam tahun terakhirku di SMA ini. Ku bayangkan wajah ayah yang telah tua, berambut putih dan tak sekuat dulu akan menggelengkan kepala atas kelakuan anak semata wayangnya yang tak, dan ku bayangkan ibu yang juga telah nyata adanya tanda-tanda bahwa usianya tak muda lagi, dengan keriput kulit wajahnya akan mengernyitkan dahinya, murung karena tak sanggup memarahiku, dan hanya memendam rasa kecewanya yang teramat besar terhadapku yang ia banggakan.
Udahlah Wit, jangan dipikirin lagi. Yang udah terjadi biarlah terjadi. Toh, masih ada kesempatan untuk memperbaiki nilai di ujian semester nanti” tukas Citra, yang ternyata kusadari ia memiliki pribadi yang lebih dewasa ketimbang aku. Tak terasa mataku menumpahkan air mata yang tak sanggup terbendung lagi oleh kedua kelopak mataku yang mungil. Aku menangis dalam pelukan sahabatku. Aku menangis karena sedih, kecewa atas sikap diriku sendiri, dank arena sahabat dekatku yang baru ku kenal jati dirinya. Ruangan itu terasa sunyi karena memang jam sedang menunjukkan waktu istirahat, yang erdengar hanyalah isakkan tangisku yang di susul oleh tangis Citra. Ia turut merasakan yang aku rasakan.
Sepulang dari sekolah, aku buru-buru membakar kertas hasil yang berisi nilai ulangan harian agar tak diketahui orang tuaku. Sembari membakar aku berjanji dalam hatiku bahwa akan berusaha mencapai keberhasilan semampu diriku.
Apa yang kamu bakar Wit?” tiba-tiba ibu muncul. “ini bu, kertas-kertas yang sudah tak di pakai bu” jawabku.
Kini aku memandangi BB-ku yang tergeletak di samping bantal tidurku. “Aku kecewa talah membelimu, dan kini aku harus berusaha lebih keras lagi untuk mengembalikan nilaiku” gumamku. Lalu, terfikir olehku untuk menjual BB-ku itu. Namun handphone itu adalah impianku selama ini, tak mungkin aku menjualnya begitu saja. Tapi aku akan terbuai olehnya dan semua impian ku yang lain takkan tercapai karena belajarku akan terbengkalai. Aku menurunkan kotak si mono dari lemari, dan ku buka penutup depannya yang berwarna abu-abu, tampak si mono masih tergeletak di dalamnya. Aku menyalakan si mono, dan menjejerkannya di samping BB. “Mon, sudah cukup tidur panjang lo, kini waktunya lo kembali nemenin gue manjalani berbagai macam rintangan yang lebih gede di depan. Dan lo BeB, makasih udah nemenin gue melewati hari-hari gue selama ini. Lo emang The Best, tapi lo belum pantas buat gue, lo bisa bikin gue lupa semuanya. Mungkin suatu saat kita bisa ketemu lagi” gumamku seperti orang gila, mengajak bicara benda-benda di hadapanku. Aku tertawa kecil dan bergegas ke konter.
Eh, ngapain lo?” tiba-tiba suara yang tidak asing menyapaku. Ternyata Citra sedang berada di konter itu juga. “eh, gue mau jual nih BB, lo ndiri lagi ngapain?” tukasku. “gue lagi beli pulsa, hmmm… akhirnya, tp emang tega lo berpisah dengan BB lo yang tercinta itu??” ledeknya. “hahaha…” aku dan Citra tertawa. Meskipun harga BB-ku jelas akan turun saat ku jual, tak apalah yang penting uangnya masih bisa ku pakai memperbaiki si mono dan sisanya akan ku tabung.
###
Wit, nih tadi ada yang datang antar sesuatu, katanya dari konter di ujung jalan sana” tiba-tiba ibu datang menghampiri ku. “oh, itu si mono bu, hp lamaku yang aku perbaiki seminggu yang lalu, akhirnya jadi juga” jawabku seraya mencuci tanganku dan buru-buru membuka bungkusan yang berisi si mono. Ku nyalakan si mono dan ternyata si mono telah kembali normal. “oh ya, Wit, beberapa hari ini kok ayah tidak melihatmu memainkan hp barumu?” tanya ayah mengejutkanku. “hmm… udah ku jual yah, habis udah bosan sih. Uangnya aku pakai buat perbaiki ini nih si mono” jawabku dengan alasan yang tak menyinggung perkara nilaiku akibat si BB. “loh, bukannya hp itu yang kamu idam-idamkan selama ini Wit?” tanya ibu keheranan. “Ya, gak papa bu. Aku lebih suka pake si mono” celetukku sambil melirik pada si mono dan tersenyum seraya mengatakan pada si mono agar jangan menceritakan rahasia di antara kita. Aku mangantongi si mono dan bergegas ke samping ayah untuk membantunya kembali.

1 Responses to Si Mono & Si Bebh ( by Amat Faisyal Mustakim )

  1. Firfer Says:
  2. Film apa kah????

     

Posting Komentar

Daftar ISi